Harpoon : Rudal Canggih Yang “Loyo” Akibat Embargo Militer
Setelah sempat berjaya di era 60-an, kembali di awal dekade 90-an TNI AL menjadi kekuatan laut di Asia Tenggara yang tampil dengan kemampuan serta daya getar tingggi.
Hal ini bukan lantaran kala itu Indonesia menjadi satu-satunya pengguna armada kapal selam di kawasan ASEAN, lebih dari itu, TNI AL pada dua dekade lalu memiliki alutsista rudal anti kapal (SSM/surface to surface missile) dari jenis Harpoon buatan McDonnell Douglas (saat ini telah diakuisisi oleh Boeing Defence), Amerika Serikat.
Sebagai rudal anti kapal, Harpoon dapat diluncurkan dari beragam platform. Walau populer diluncurkan dari kapal perang (frigat atau destroyer). Dalam gelar operasinya, Harpoon mampu diluncurkan dari pesawat tempur, truk, dan hebatnya bisa diluncurkandari kapal selam.
Bila disimak, fungsi dan peran operasinya bisa disejajarkan dengan keluarga rudal Exocet dan Yakhont. Berkat hadirnya Harpoon, jadilah dekade 90-an TNI-AL memiliki dua rudal SSM modern, yakni Exocet MM-38 dan Harpoon.
Ditilik dari spesifikasinya, Harpoon adalah rudal over the horizon, artinya dapat menghantam sasaran di luar batas cakrawala. Hal tersebut bisa dimungkinkan karena jangkauan Harpoon yang bisa mencapai 100 Km lebih.
Dengan ragam multi platform peluncuran, Harpoon dibagi dalam beberapa tipe, untuk Harpoon yang diluncurkan dari kapal dan truk yakni RGM-84A, sedang yang diuncurkan dari pesawat yakni AGM-84, dan yang diluncurkan dari kapal selam disebut UGM-84A.
Indonesia termasuk negara yang beruntung ikut mengoperasikan rudal ini, di kawasan ASEAN diketahui Singapura juga mengadopsi Harpoon. Bila Indonesia “hanya” memiliki jenis RGM-84, maka Singapura sudah mengadopsi jenis RGM-84 Harpoon untuk kelas FPB (fast patrol boat) dan jenis AGM-84 yang ditempatkan pada pesawat patroli maritim MPA (maritim patrol aircraft) Fokker 50.
Sejak diluncurkan pertama kali pada tahun 1977, saat ini populasi Harpoon diperkirakan telah mencapai 7000 unit lebih. Karena sudah hadir cukup lama, Harpoon hingga kini sudah dibuat dalam beberapa versi upgrade untuk perbaikan performa. Menurut situ Wikipedia, TNI AL disebutkan memiliki jenis rudal Harpoon versi Block 1D.
Harpoon Block 1D mempunyai keunggulan pada ukuran fuel tank yang lebih besar. Block 1D mulai diproduksi pada akhir tahun 80-an, dan produksinya tak dilanjutkan pada tahun 1992 lantaran AS lebih fokus pada hangatnya isu konflik dengan Pakta Warsawa. Harpoon Block 1D dirancang untuk jenis RGM/AGM-84, jarak tembak secara teorinya bisa mencapai 124 Km, jarak tembak tergantung dari jenis platform peluncuran.
Kedatangan Harpoon di Indonesia menjadi satu paket dengan hadirnya frigat kelas Van Speijk dari Belanda. Setiap frigat Van Speijk dapat membawa 8 tabung peluncur. TNI AL sendiri memiliki enam jenis frigat Van Speijk.
Tak ada informasi yang jelas mengenai berapa unit Harpoon yang dibeli TNI AL. Dalam hitung-hitungan standar, setidaknya (harusnya) TNI AL minimal punya 48 unit Harpoon. Ini diasumsikan bila satu frigat Van Speijk benar-benar dipersiapkan dengan 8 Harpoon.
Harpoon yang dimiliki TNI AL dikendalikan sistem monitor Sea skimming lewat radar altimeter/active radar terminal homing. Ditinjau dari segi kecepatan, Harpoon digolongkan sebagai rudal sub sonic, kecepatan luncur Harpoon yakni 867 Km per jam atau 240 meter per detik. Bila ditilik dari elemen kecepatan, Harpoon dan Exocet MM-38 sama-sama masuk kategori rudal sub sonic. TNI AL baru merasakan era rudal SSM super sonic semenjak kehadiran rudal Yakhont dari Rusia.
Jika dihitung dari segi usia, jelas Harpoon Block 1D kini sudah masuk usia uzur, dan bahkan mungkin sudah tak layak operasi. TNI AL pun sebenarnya sudah berusaha memperbaharui performa Harpoon, baik dari kelengkapan suku cadang hingga pengadaan jenis terbaru. Sedikit kilas balik, akibat insiden penembakan di Timor Timur pada tahun 1991, militer Indonesia terkena embargo senjata dari Amerika Serikat, hal ini berujung paa macetnya pasokan komponen dan alat pendukung Harpoon, akibatnya Harpoon TNI AL tak bisa dioperasikan.
Lepas dari soal embargo, hadirnya Harpoon di Indonesia sedikit banyak juga membuat Australia resah dan merasa terancam. Australia sempat menyiratkan ketidaksukaannya, apalagi disaat yang sama TNI AU juga kedatangan penempur termodern saat itu, F-16 Fighting Falcon.
Kabarnya Australia pernah melayangkan protes mengenai hal ini ke pemerintah AS yang merestui penjualan senjata ini. Dan entah kebetulan atau karena rekayasa, pada akhirnya protes Australia “terkabul”, F-16 dan Harpoon Indonesia berhasil dibuat loyo. Sebagai informasi, Harpoon juga dioperasikan oleh Angkatan Laut dan Angkatan Udara Australia.
Seiring bergulirnya era Reformasi di tahun 2005, embargo militer AS kini telah dicabut. Dan TNI pun tak ‘kapok’ pada peralatan tempur dari AS. Dikutip dari Kapablagi.com (5/12/2005), KSAL Laksamana Slamet Soebijanto menyatakan, pasca pemcabutan embargo militer oleh AS, TNI AL akan membeli rudal Harpoon.
“Rudal Harpoon itu untuk kelengkapan kapal perang. Mengenai kapan waktu dan kebutuhannya, kami akan bicarakan lebih lanjut,” ujar Slamet.
Sementara itu Asisten Perencanaan dan Anggaran (Asrena) Kasal Mayjen TNI (Mar) Yussuf Solichien mengemukakan, rudal Harpoon itu nantinya akan melengkapi persenjataan dari kapal jenis fregat. “Kekuatannya hampir sama dengan rudal Exocet MM 38 yang jarak jangkaunya sekitar 80 hingga 100 kilometer.
Kita memiliki peralatan untuk rudal Harpoon itu, tapi sudah tidak dipakai sejak lima tahun lalu,” katanya. Ia menjelaskan, sebelum membeli rudal harpoon, TNI AL akan membeli rudal Yakhount dari Rusia untuk dua kapal fregat yang memiliki daya jangkau lebih jauh, yakni sekitar 300 Kilometer. Rudal dengan harga sekitar empat juta dolar AS itu akan ditempatkan di satu kapal frigat dan direalisasikan 2006.
Dewasa ini Harpoon terus digunakan oleh AS dan sekutunya, Harpoon dimodifikasi untuk meningkatkan performa daya gempurnya, seperti versi block 1J/block1G/blockII dan yang termutakhir block III. Pada Harpoon block III, rudal ini mampu diluncurkan dengan pola VLS (vertical launching system), artinya rudal bisa ditembakkan dari posisi meluncur ke atas untuk selanjutnya mencari target sasaran sesuai koordinat yang sudah ditentukan. Pola VLS mirip yang diterapkan pada rudal jelajah Tomahawk dan rudal anti kapal Yakhont.
TNI AL Jajal Harpoon
Pada tahun 1989 (sebelum Indonesia terkena embago senjata dari AS), TNI melaksanakan program Latihan Gabungan Laut (Latgabla) II yang berlangsung dari tanggal 23 Oktober sampai dengan 28 Oktober 1989. Dalam latihan tersebut TNI AL melakukan uji coba penembakkan Harpoon dari KRI Yos Sudarso (352).
Sebagai sasaran rudal Harpoon adalah eks KRI Hiu, yang cukup menarik dalam uji coba ini sang rudal saat meluncur ke sasaran turur diikuti oleh pesawat tempur F-5 E/F Tiger TNI AU dari skadron 14. Dalam uji coba, antara Harpoon dan F-5 sempat hanya berjarak 10 meter.
Spesifikasi Harpoon
Berat dengan booster : 691 Kg
Panjang : 4,6 meter (versi surface to surface) dan 3,8 meter (versi air to surface)
Diameter : 0,43 meter
Lebar Sayap : 0,91 meter
Berat Hulu Ledak : 221 Kg
Penggerak : Teledyne Turbojet/solid propellant booster
Kecepatan : 864 Km per jam
Pemandu : Sea skimming radar altimeter/active radar terminal homing
0 komentar
Write Down Your Responses