Indonesia dibawah ancaman agenda Balkanisasi


1095081_699878756695778_1836420223_n2
Setelah Afghanistan, Irak, Libya, Suriah dan Mesir, kini Indonesia masuk pada fase aktif operasi Devide at Impera (Balkanisasi) yang dijalankan Barat secara terukur.
“Mau Terong, atau terima Pentungan?”

Tidak dapat dipungkiri bahwa Amerika Serikat pada khususnya dan Barat pada umumnya tengah menghadapi kondisi ekonomi yang sulit, bukan hanya dikarenakan pertumbuhan ekonomi China-India dan Negara-negara lain yang mulai melunturkan dominasi dan hagemoni ekonomi Barat, melainkan juga Barat yang telah berulangkali mengalami krisis Bubble economic yang karenanya mereka membutuhkan jalan keluar atas kondisi tersebut, dan sangat jelas bahwa mereka kini membutuhkan pasar baru untuk lemparan product-product mereka dan sumber daya alam lain (yang sama dan/atau lebih murah) untuk menekan biaya produksi.
Lalu, dimana keterkaitannya dengan Indonesia?
Terkait Indonesia sebagai Negara dengan Sumber daya alam yang limpah dan Bargening Power dalam bidang politik Amerika terhadap Indonesia.
– mari kita melakukan kilas balik.
1095081_699878756695778_1836420223_n23

Pada 28 April 2013 lalu, kantor perwakilan OPM (Organisasi Papua Merdeka) di Oxford, Inggris secara resmi dibuka. Tak pelak lagi, hal ini mengindikasikan semakin kuatnya tren ke arah Internasionalisasi isu Papua, tidak saja di Amerika Serikat, melainkan juga di Inggris, Australia dan Belanda.
Pembukaan kantor perwakilan OPM di Inggris ini dihadiri oleh Walikota Oxford Mohammaed Niaz Abbasi, anggota Parlemen Inggris,Andrew Smith, dan mantan Walikota Oxford, Elise Benjamin. Bagaimanapun juga hal ini secara terang-benderang menggambarkan adanya dukungan nyata dari berbagai elemen strategis Inggris baik di pemerintahan, parlemen dan tentu saja Lembaga Swadaya Masyarakat Inggris yang sangat menentukan arah kebijakan Pemerintah Inggris untuk kedepannya – sekalipun dalam komunikasi government to government belum menunjukkan ketegasan Inggris saat ini kea rah itu.
Mari kita simak pernyataan anggota parlemen Andrew Smith, dalam acara pembukaan kantor perwakilan OPM di Inggris tersebut.
Dikatakannya; “Kami akan bekerja sama dengan orang-orang di kantor baru kami di Port Moresby, PNG pada strategi menuju tujuan penentuan nasib sendiri bagi Papua Barat.”
Pernyataan Andrew Smith itu harus dibaca sebagai isyarat bahwa gerakan internasionalisasi Papua sedang gencar dilakukan baik di lini pemerintahan maupun parlemen di Amerika, Inggris, Australia dan Belanda. Penekanan Andrew Smith terkait upaya melibatkan PNG, harus dibaca sebagai bagian integral dari aliansi strategis Amerika Serikat-Inggris-Australia untuk mengInternasionalisasikan isu Papua, sebagai langkah awal menuju pemecah-belahan Indonesia dalam konteks kemerdekaan Papua.
Kekhawatiran tersebut kiranya cukup beralasan, karena dua bulan setelah peresmian kantor perwakilan OPM di Oxford, Inggris, kelompok Jhon Otto Ondawame dan Andy Ayamiseba melalui organisasi West Papua National National Coalition for Liberation (WPNCL) diundang ke KTT ke-19 forum negara-negara rumpun Melanesia (Melanesian Spearhead Group/ MSG) di Noumea, New Caledonia.
Gerakan Internasionalisasi Papua Bermula dari Washington
Ini bukan rumor ini bukan gosip. Sebuah sumber di Kementerian Luar Negeri RI mengungkap adanya usaha intensif dari beberapa anggota kongres dari Partai Demokrat Amerika kepada Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk membantu proses ke arah kemerdekaan Papua secara bertahap. Gerakan ini sudah bermula sejak awal 2000-an.
Informasi ini kiranya masuk akal dengan tampilnya Presiden Barrack Obama di tahta kepresidenan Gedung Putih sejak 2008 lalu, praktis politik luar negeri Amerika amat diwarnai oleh haluan Partai Demokrat yang memang sangat mengedepankan soal hak-hak asasi manusia. Karena itu tidak heran jika Obama dan beberapa politisi Demokrat yang punya agenda memerdekakan Papua lepas dari Indonesia, sepertinya memang akan diberi angin. Maka kejadian pembukaan kantor perwakilan OPM di Inggris April lalu, sudah seharusnya dipandang sebagai bukti nyata bahwa gerakan internasionalisasi Papua yang dirintis oleh beberapa anggota Kongres dari Partai Demokrat di Washington, memang tidak bisa dianggap enteng.
Skenario semacam ini jelasnya sangat berbahaya dari segi keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sindikasi Modus Kosovo bagi Papua Merdeka
Dalam teori operasi intelijen, serentetan kerusuhan yang dipicu oleh OPM dengan memprovokasi TNI dan Polri, maka tujuannya tiada lain untuk menciptakan suasana chaos dan meningkatnya polarisasi terbuka antara TNI-Polri dan OPM yang dicitrakan sebagai pejuang kemerdekaan.
Skenario semacam ini sebenarnya bukan jurus baru bagi Amerika mengingat hal ini sudah dilakukan mantan Presiden Bill Clinton ketika mendukung gerakan Kosovo merdeka lepas dari Serbia, dan bahkan juga mendukung terbentuknya Kosovo Liberation Army (KLA).
Seperti halnya ketika Clinton mendukung KLA, Obama sekarang nampaknya hendak mencitrakan OPM sebagai entitas politik yang masih eksis di Papua dengan adanya serangkaian kerusuhan yang dipicu oleh OPM sepanjang 2009 ini.
Lucunya, beberapa elemen LSM asing di Papua, akan menyorot setiap serangan balasan TNI dan Polri terhadap ulah OPM memicu kerusuhan, sebagai tindakan melanggar HAM. Tapi sebenarnya ini skenario kuno yang mana aparat intelijen kita seperti BIN maupun BAIS sudah tahu hal itu .
Isu-isu HAM, memang menjadi ”jualan politik” Amerika mendukung kemerdekaan Papua. Karena melalui sarana itu pula Washington akan memiliki dalih untuk mengintervensi penyelesaian internal konflik di Papua.
Di sinilah sisi rawannya, sebab sebagai pengusung Hak Asasi Manusia dan Demokrasi, mengharuskan Departemen Luar Negeri Amerika melaporkan kepada kongres Amerika terkait pelanggaran- pelanggaran HAM di Negara manapun termasuk di Papua.
Maka, kejadian tewasnya anggota TNI, jangan dibaca semata sebagai konsekwesnsi Perang antara TNI dan OPM, tapi lebih dari itu, untuk membenturkan antara TNI dan warga sipil Papua, yang nantinya seakan semua warga sipil Papua adalah OPM.
Rand Corporation Rekomendasikan Indonesia Dipecah Jadi 7 (tujuh) Wilayah.
Dalam buku ‘Tangan-Tangan Amerika (Operasi Siluman AS di Pelbagai Belahan Dunia)’, terbitan Global Future Institute pada 2010, bahwa dalam skema yang dirancang Pentagon melalui rekomendasi studi Rand Corporation, Indonesia harus dibagi 8 wilayah, yang mana salah satu prioritas jangka pendek adalah memerdekakan Papua. Ini yang kemudian saya istilahkan dalam bukut tersebut sebagai BALKANISASI NUSANTARA.
Ini jelas tidak main-main mengingat kenyataan bahwa Rand Corporation merupakan sebuah badan riset dan pengembangan strategis di Amerika yang dikenal sering melayani secara akademis kepentingan Departemen Pertahanan Amerika (Pentagon) dan atas dukungan dana dari Pentagon pula. Sehingga bisa dipastikan rekomendasi-rekomendasi studi Rand Corporation ditujukan untuk menyuarakan kebijakan strategis Pentagon dan Gedung Putih.
Dengan demikian, internasionalisasi Papua, yang sudah menerapkan otonomi daerah, ternyata masih merupakan isu sentral dan agenda mereka hingga sekarang. Bahkan dalam scenario building yang mereka gambarkan, wilayah Indonesia harus dipecah menjadi 7 bagian.
Sekadar informasi, rekomendasi Rand Corporation ihwal memecah Indonesia jadi 8 bagian tersebut dikeluarkan pada tahun 1998. Artinya, pada masa ketika Presiden Clinton masih menjabat sebagai presiden. Berarti rekomendasi Rand Corporation atas sepengetahuan dan sepersetujuan Presiden Clinton dan Pentagon.
Dengan demikian, menjadi cukup beralasan bahwa rekomendasi Rand Corporation tersebut akan dijadikan opsi oleh Obama. Karena rekomendasi Rand Corporation dikeluarkan ketika suami Hillary masih berkuasa.
Dalam skenario Balkanisasi ini, akan ada beberapa negara yang terpisah dari NKRI.
Yang sudah terpisah Yaitu Timor Timur yang terjadi pada 1999 masa pemerinthan BJ Habibie
Lalu Aceh, sepertinya sedang dalam proses dan berpotensi untuk pecah melalui “sandiwara” MoU Helsinki dan kemungkinan (telah) menangnya Partai Lokal di Aceh pada Pemilu 2009 tahun ini.
Kemudian Ambon,
Irian Jaya,
Kalimantan Timur,
Riau,
Bali.
Dan sisanya tetap Indonesia.
Anggap saja skenario ini memang sudah ditetapkan oleh pemerintahan Obama, maka besar kemungkinan skenario ini akan dijalankan Amerika tidak dengan menggunakan aksi militer dalam berbagai bentuk.
Dalam skema ini, Diplomasi Publik Menlu Clinton, yang di era kedua kepresidenan Obama diteruskan oleh Menlu John Kerry, akan menjadi elemen yang paling efektif untuk menjalankan skenario Balkanisasi Nusantara tersebut.
Dengan kata lain, mengakomodasi dan menginternasionalisasi masalah Irian Jaya, akan dipandang oleh Amerika sebagai bagian dari gerakan demokrasi dan penegakan HAM.
Dorongan untuk memperoleh daerah dan pengaruh nampaknya memang bukan monopoli kepresidenan Bush. Obama pun pada hakekatnya bertujuan sama meski dengan metode yang berbeda.
Selain Amerika dan Australia, manuver Papua Merdeka di Inggris (selain pembukaan Kantor Perwakilannya) kiranya juga harus dicermati secara intensif. 15 Oktober 2008, telah diluncurkan apa yang dinamakan International Parliaments for West Papua (IPWP) di House of Commons, atau DPR-nya Kerajaan Inggris.
Misi IPWP tiada lain kecuali mengangkat masalah Papua di fora internasional. Meski tidak mewakili negara ataupun parlemen suatu negara, namun sepak-terjang IPWP tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebab IPWP bisa menjadi kekuatan penekan agar digelar referendum di Papua, penarikan pasukan TNI dari Papua, penempatan pasukan perdamaian di Papua di bawah pengawasan PBB.
Jelaslah sudah ini sebuah agenda berdasarkan skema Kosovo merdeka. Apalagi ketika IPWP juga mendesak Sekjen PBB meninjau kembali peranan PBB dalam (SAH ATAU TIDAKNYA) pelaksanaan penentuan pendapat rakyat (pepera) / REFERENDUM (penyatuan Papua ke NKRI) tahun 1969, sekaligus mengirim peninjau khusus PBB untuk memantau situasi HAM di Papua.
(Jauh hari sebelumnya, dikatakan bahwa setelah pembukaan Kantor Perwakilan OPM di Inggris tersebut- jika kemudia OPM membuka kantor perwakilannya di Belanda, maka kiranya menjadi “pertanda” bahwa Uni Eropa turut berperan besar dalam gerakan internasionalisasi Papua ini).
Dan pada kenyataannya, pada Kamis 15 Augustus 2013 kemarin, dikabarkan Kantor Perwakilan Papua Merdeka telah dibuka.
Respon Publik atas pembukaan Kantor Perwakilan Papua Merdeka di Belanda tersebut, di dalam Negeri, Unjuk di gelar oleh aktivis Komite Nasional Papua Barat, KNPB di berbagai kota di Propinsi Papua, mendukung peresmian kantor Organisasi Papua Merdeka, OPM, di Denhag, Belanda tersebut.
Selain digelar di Jayapura, aksi juga digelar di beberapa kota lainnya, seperti Fakfak, Timika, Wamena, Boven Digul, Merauke, Sorong, serta Nabire.
Kodam Cenderawasih telah mengklarifikasi adanya unjuk rasa dukungan bagi Papua Merdeka ini sekalipun dikatakannya “tidak besar-besaran” .
http://www.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2013/08/130815_demo_papua_opm.shtml
terlepas dari klarifikasi Kodam Cendrawasih, Di Sorong, Massa rakyat Papua dari berbagai elemen perjuangan di Sorong juga mengambil bagian dengan menggelar ibadah syukuran guna memberikan dukungan atas pembukakan kantor Papua Merdeka di Belanda tersebut.
Dan di Bogor, Mahasiswa Papua di Bogor juga menyuarakan permintaannya untuk Merdeka.
Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua meminta Papua segera merdeka. Unjuk rasa tersebut digelar di Tugu Kujang, Bogor, Jawa Barat, Kamis (15/8/13).
Lalu, apa MOTIVASI Amerika dan porosnya terkait hal tersebut diatas?.
Motivasi para penentu kebijakan luar negeri Amerika memang bisa dimengerti. Karena dengan lepasnya daerah-daerah tersebut (yang dalam hal ini Papua), Amerika bisa mengakses langsung kepada para elite daerah tanpa harus berurusan dengan pemerintahan di Jakarta seperti sekarang ini (lebih murah-meriah) – dan/atau JIKA – kedepannya Pemerintah Indonesia tidak lagi mendukung kepentingan Geo Politik-Ekonomi dan Militer Amerika di kawasan Asia Pasifik.
Secara formil, agenda AS untuk kawasan Asia Pasifik telah diutarakan Amerika Serikat melalui Duta Besarnya, Scot Marciel, yang mengatakan bahwa Indonesia adalah salah satu Negara yang dijadikan target dari strategi re-balancing (penyeimbangan kembali) AS di Asia Pasifik (setelah kekalahan ekonomi AS {terutama} dari China).
Marciel mengutarakan kebijakan Presiden AS Barack Obama ingin mengembalikan keseimbangan di Asia Pasifik karena melihat Asia sangat penting dilihat dari populasinya yang besar, pertumbuhan ekonomi dan dinamika cepat di kawasan.
Mengenai hal ini, Indonesia telah diminta waspada dengan adanya latihan militer gabungan Amerika Serikat dengan Australia atau Talisman Sabre 2013 yang melibatkan 28 ribu personel militer.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesian Hikmahanto Juwana mengatakan latihan gabungan tersebut pantas diduga sebagai usaha Amerika untuk mengamankan berbagai kepentingannya di kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia.
Lebih dari itu, Menteri Pertahanan AS, Panetta, menyatakan bahwa 60 persen kekuatan militer AS akan pindah ke kawasan Asia Pasifik mulai 2012 hingga 2020.
Penempatan ribuan pasukan AS di Darwin ini menunjukkan pergeseran strategi global yang sangat signifikan.
“Pergeseran kekuatan militer AS ke Asia Pasifik ini bukan hal sederhana. Bisa jadi, pada 8 tahun ke depan, “Perang” perebutan sumber daya alam dan jalur perdagangan akan beralih ke kawasan ini..” (Connie Rahakundini Bakrie, Pengamat Pertahanan dan Militer dari Universitas Indonesia).
Kini yang menjadi pertanyaan adalah, sudah siapkah Indonesia menghadapi Balkanisasi AS di Nusantara ini?, dan Negara mana saja yang sekiranya akan membantu Indonesia jika Indonesia berhadapan dengan AS beserta seluruh Negara aliansinya?.

http://voricomrade.wordpress.com/

,

0 komentar

Write Down Your Responses