Kementerian Pertahanan sebaiknya menekankan lebih serius mengenai kesepakatan transfer teknologi (ToT) dalam pengadaan kapal selam Changbogo dari Korea Selatan, hal dikatakan oleh Raja Oloan Saut Gurning, Ketua Pusat Kerja Sama dan Promosi IPTEKS Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya, Rabu, 26 Juni 2013. Indonesia juga sebagai pemilik uang berhak mendapatkan manfaat lebih dari kerja sama ini dan kepentingan nasional harus dibela, lanjutnya.
Saut menilai realisasi pengadaan alutsista Indonesia dalam dua tahun terakhir lebih menguntungkan pihak asing dan berpotensi menjadikan alutsista Indonesia dikendalikan korporat asing. Dalam jangka panjang dampaknya akan sangat berbahaya bila masih bergantung pada negara lain.
Menurut Saut, kerja sama pembelian kapal selam dengan Korea Selatan berpotensi sangat merugikan Indonesia. Itu, kata dia, tampak dari detail teknis yang tidak ada komponen kapal selam yang dibuat di Indonesia.
"PT PAL saya dengar hanya mendapat bagian pekerjaan 2 persen saja. Hanya gambar dan pengawasan. Bahkan memotong pelat baja pun tidak dikasih," ujar Saut.
Awalnya disepakati dari pembelian tiga kapal selam kelas Changbogo dari Korea Selatan, dengan harga sekitar 350 juta dolar per unit. Dalam perjanjian pembelian, Korea Selatan menawarkan alih teknologi kepada Indonesia. Sejumlah tim ahli dan insinyur Indonesia akan dilibatkan dalam pembuatannya. Dua kapal dibuat di Korea dan satu lagi akan dibuat di Indonesia dalam hal ini PT PAL. Namun, kata Saut, dalam kenyataannya, banyak alasan dari Korea Selatan yang aneh-aneh. Misalnya tenaga ahli yang dikirim belajar harus berumur kurang 30 tahun dan hanya diperbolehkan learning by seing (melihat).
Tak adanya kesempatan tenaga ahli Indonesia turut andil dalam proses produksinya karena dianggap sangat merugikan. Saut menilai negosiasi transfer teknologi kapal selam tersebut hanya basa-basi di atas kertas.
"Kita ini banyak dikendalikan asing. Jangan sampai program ToT kapal selam ke Korea justru merugikan Indonesia," ucap Saut.
Melalui APBN 2013, nilai belanja alutsista sebesar Rp 28,2 triliun dan diperkirakan lebih dari 80 persen dibelanjakan dari industri asing dengan dukungan lebih 60 persen kredit ekspor luar negeri.
Dirut PT PAL : Merugikan Kepentingan Nasional
Sebelumnya, Direktur Utama PT PAL Indonesia, M. Firmansyah Arifin, mengatakan program transfer teknologi kapal selam ke Korea Selatan, cenderung merugikan kepentingan nasional. Setelah mempelajari klausul kontraknya, Firmansyah melihat program ToT itu lebih menekankan pada learning by seeing, bukan learning by doing.
Akibatnya, kata Firmansyah, tenaga ahli Indonesia yang dikirim ke Korea Selatan, hanya sebatas melihat proses pembuatan tanpa terjun langsung membuat dan mempelajari teknologinya. Skema kerja sama seperti ini, lebih menguntung Korea ketimbang Indonesia.
"Memang kami harus mencuri teknologinya. Karena Korea dulu juga mengambil teknologi dari Jerman," kata Firmansyah, beberapa waktu lalu.
Daewoo Shipbuilding Marine Engineering co. Ltd, galangan kapal Korea Selatan, menurut Firmansyah hanya sekedar memberikan gambar kapal selam. Padahal, mempelajari rekayasa teknologi kapal selam tidak cukup dengan melihat gambar. Kini pihaknya hanya berharap bisa menempatkan lebih banyak tenaga ahli dari kampus dalam program ToT untuk melakukan kajian ilmiah. Dirinya yakin, Korea Selatan tidak akan memberikan ilmu secara tulus kepada Indonesia.
Alasan Korsel Tidak Melibatkan Tenaga Ahli Indonesia
Kementerian Pertahanan (Kemenhan) membantah jika pemerintah Korea Selatan setengah hati melakukan transfer teknologi pembuatan kapal selam kepada Indonesia. Korea Selatan memiliki alasan kuat menolak perwakilan dari PT PAL ikut mengerjakan kapal selam pesanan Indonesia.
"Menurut mereka pembangunan kapal selam punya resiko sangat tinggi," kata Kepala Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan, Laksamana Muda Rachmad Lubis, saat ditemui Tempo di kantor Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta Senin lalu. "Rusia yang ahli kapal selam saja pernah gagal, apa lagi orang yang belum punya keahlian, risikonya sangat tinggi, rawan kecelakaan," terang Rachmad.
Kemenhan mengungkapkan beberapa alasan mengapa Korea Selatan tidak melibatkan tenaga ahli Indonesia dalam pembuatan kapal selam :
Pertama, Korea Selatan mengatakan kapal selam adalah produk alutsista dengan standar kualitas tinggi. Berbeda dengan kapal perang biasa, kapal selam harus memiliki kemampuan menyelam hingga 350 meter dari permukaan laut sehingga tak boleh ada sedikit pun kesalahan. Jika tidak, nyawa dan reputasi produsen kapal selam jadi taruhan.
Kedua, faktor keselamatan pekerja Indonesia juga menjadi alasan Korea Selatan. Sebab produksi kapal selam menggunakan peralatan yang beresiko besar pada keselamatan, terlebih untuk tenaga yang belum memiliki kemampuan.
Ketiga, Korea Selatan takut target produksi mereka molor karena harus memberi pelajaran kepada Indonesia. "Sementara kalau produksinya telat, kan mereka kena denda."
Meski begitu, saat ini pemerintah sedang melobi Korea Selatan untuk memaksimalkan proses alih teknologi. Minimal, jika perwakilan PT PAL benar-benar cuma diberi kesempatan belajar dengan learning by seeing, Korea Selatan mau memperlihatkan secara detil. "Jadi diharapkan kapal selam ketiga kita bisa buat sendiri di Indonesia, tentu atas bimbingan langsung Korea Selatan," kata Rachmad.
Sumber : Tempo
Kredit foto : www.naval.com.br
Kalau memang seperti pernyataan pejabat Kemenhan diatas, berarti indikasinya pembelian Changbogo memang tanpa transfer teknologi, lebih cocok tenaga PT PAL yang dikirimkan itu disebut sebagai "wisatawan."
Sebenarnya ini semua tergantung Indonesia, seharusnya Indonesia-lah yang bisa "mengikat" Korea dengan kontrak atau perjanjian pembelian kapal selam ini. Bukan malah berharap setelah kontrak ditandatangani. Apakah sulit untuk memperjelas klausul kontrak dan konsekuensinya bila melanggar? Kecuali bila memang tidak ada/tidak jelasnya klausul ToT dalam kontrak.
Dengan "tipu muslihat" Korsel seperti ini (naasnya Indonesia yang kena), ada baiknya juga untuk tidak lagi berharap banyak pada program KFX/IFX yang saat ini juga memang tidak jelas juntrungannya. Nasi sudah menjadi bubur, dan tetap akan menjadi bubur walaupun sudah ditambah potongan ayam dan sayuran he... Untuk selanjutnya diharapkan tidak lagi terjadi hal semacam ini. Pinter pinter dong...!
Saut menilai realisasi pengadaan alutsista Indonesia dalam dua tahun terakhir lebih menguntungkan pihak asing dan berpotensi menjadikan alutsista Indonesia dikendalikan korporat asing. Dalam jangka panjang dampaknya akan sangat berbahaya bila masih bergantung pada negara lain.
Menurut Saut, kerja sama pembelian kapal selam dengan Korea Selatan berpotensi sangat merugikan Indonesia. Itu, kata dia, tampak dari detail teknis yang tidak ada komponen kapal selam yang dibuat di Indonesia.
"PT PAL saya dengar hanya mendapat bagian pekerjaan 2 persen saja. Hanya gambar dan pengawasan. Bahkan memotong pelat baja pun tidak dikasih," ujar Saut.
Awalnya disepakati dari pembelian tiga kapal selam kelas Changbogo dari Korea Selatan, dengan harga sekitar 350 juta dolar per unit. Dalam perjanjian pembelian, Korea Selatan menawarkan alih teknologi kepada Indonesia. Sejumlah tim ahli dan insinyur Indonesia akan dilibatkan dalam pembuatannya. Dua kapal dibuat di Korea dan satu lagi akan dibuat di Indonesia dalam hal ini PT PAL. Namun, kata Saut, dalam kenyataannya, banyak alasan dari Korea Selatan yang aneh-aneh. Misalnya tenaga ahli yang dikirim belajar harus berumur kurang 30 tahun dan hanya diperbolehkan learning by seing (melihat).
Tak adanya kesempatan tenaga ahli Indonesia turut andil dalam proses produksinya karena dianggap sangat merugikan. Saut menilai negosiasi transfer teknologi kapal selam tersebut hanya basa-basi di atas kertas.
"Kita ini banyak dikendalikan asing. Jangan sampai program ToT kapal selam ke Korea justru merugikan Indonesia," ucap Saut.
Melalui APBN 2013, nilai belanja alutsista sebesar Rp 28,2 triliun dan diperkirakan lebih dari 80 persen dibelanjakan dari industri asing dengan dukungan lebih 60 persen kredit ekspor luar negeri.
Dirut PT PAL : Merugikan Kepentingan Nasional
Sebelumnya, Direktur Utama PT PAL Indonesia, M. Firmansyah Arifin, mengatakan program transfer teknologi kapal selam ke Korea Selatan, cenderung merugikan kepentingan nasional. Setelah mempelajari klausul kontraknya, Firmansyah melihat program ToT itu lebih menekankan pada learning by seeing, bukan learning by doing.
Akibatnya, kata Firmansyah, tenaga ahli Indonesia yang dikirim ke Korea Selatan, hanya sebatas melihat proses pembuatan tanpa terjun langsung membuat dan mempelajari teknologinya. Skema kerja sama seperti ini, lebih menguntung Korea ketimbang Indonesia.
"Memang kami harus mencuri teknologinya. Karena Korea dulu juga mengambil teknologi dari Jerman," kata Firmansyah, beberapa waktu lalu.
Daewoo Shipbuilding Marine Engineering co. Ltd, galangan kapal Korea Selatan, menurut Firmansyah hanya sekedar memberikan gambar kapal selam. Padahal, mempelajari rekayasa teknologi kapal selam tidak cukup dengan melihat gambar. Kini pihaknya hanya berharap bisa menempatkan lebih banyak tenaga ahli dari kampus dalam program ToT untuk melakukan kajian ilmiah. Dirinya yakin, Korea Selatan tidak akan memberikan ilmu secara tulus kepada Indonesia.
Alasan Korsel Tidak Melibatkan Tenaga Ahli Indonesia
Kementerian Pertahanan (Kemenhan) membantah jika pemerintah Korea Selatan setengah hati melakukan transfer teknologi pembuatan kapal selam kepada Indonesia. Korea Selatan memiliki alasan kuat menolak perwakilan dari PT PAL ikut mengerjakan kapal selam pesanan Indonesia.
"Menurut mereka pembangunan kapal selam punya resiko sangat tinggi," kata Kepala Badan Sarana Pertahanan Kementerian Pertahanan, Laksamana Muda Rachmad Lubis, saat ditemui Tempo di kantor Kementerian Riset dan Teknologi, Jakarta Senin lalu. "Rusia yang ahli kapal selam saja pernah gagal, apa lagi orang yang belum punya keahlian, risikonya sangat tinggi, rawan kecelakaan," terang Rachmad.
Kemenhan mengungkapkan beberapa alasan mengapa Korea Selatan tidak melibatkan tenaga ahli Indonesia dalam pembuatan kapal selam :
Pertama, Korea Selatan mengatakan kapal selam adalah produk alutsista dengan standar kualitas tinggi. Berbeda dengan kapal perang biasa, kapal selam harus memiliki kemampuan menyelam hingga 350 meter dari permukaan laut sehingga tak boleh ada sedikit pun kesalahan. Jika tidak, nyawa dan reputasi produsen kapal selam jadi taruhan.
Kedua, faktor keselamatan pekerja Indonesia juga menjadi alasan Korea Selatan. Sebab produksi kapal selam menggunakan peralatan yang beresiko besar pada keselamatan, terlebih untuk tenaga yang belum memiliki kemampuan.
Ketiga, Korea Selatan takut target produksi mereka molor karena harus memberi pelajaran kepada Indonesia. "Sementara kalau produksinya telat, kan mereka kena denda."
Meski begitu, saat ini pemerintah sedang melobi Korea Selatan untuk memaksimalkan proses alih teknologi. Minimal, jika perwakilan PT PAL benar-benar cuma diberi kesempatan belajar dengan learning by seeing, Korea Selatan mau memperlihatkan secara detil. "Jadi diharapkan kapal selam ketiga kita bisa buat sendiri di Indonesia, tentu atas bimbingan langsung Korea Selatan," kata Rachmad.
Sumber : Tempo
Kredit foto : www.naval.com.br
Kalau memang seperti pernyataan pejabat Kemenhan diatas, berarti indikasinya pembelian Changbogo memang tanpa transfer teknologi, lebih cocok tenaga PT PAL yang dikirimkan itu disebut sebagai "wisatawan."
Sebenarnya ini semua tergantung Indonesia, seharusnya Indonesia-lah yang bisa "mengikat" Korea dengan kontrak atau perjanjian pembelian kapal selam ini. Bukan malah berharap setelah kontrak ditandatangani. Apakah sulit untuk memperjelas klausul kontrak dan konsekuensinya bila melanggar? Kecuali bila memang tidak ada/tidak jelasnya klausul ToT dalam kontrak.
Dengan "tipu muslihat" Korsel seperti ini (naasnya Indonesia yang kena), ada baiknya juga untuk tidak lagi berharap banyak pada program KFX/IFX yang saat ini juga memang tidak jelas juntrungannya. Nasi sudah menjadi bubur, dan tetap akan menjadi bubur walaupun sudah ditambah potongan ayam dan sayuran he... Untuk selanjutnya diharapkan tidak lagi terjadi hal semacam ini. Pinter pinter dong...!
July 16, 2013 at 4:38 AM