8 Unit Pesawat Sukhoi untuk Indonesia : Antonov Rusia Tiba di Makassar Bawa Mesin Su 27/30





Su-30MK adalah jet tempur multiperan dengan dua tempat duduk dan pesawat udara superior. Sebanding
dengan F/A 18 Hornets di atas F-16 Fighting Falcon. Dikembangkan dari pendahulunya Su 27,  Su 30 dapat melakukan semua tugas dari Su-24 dan Su-27, sementara jarak tempunya 2 kali lipat dan efektivitas tempurnya naik 2,5 kali lipat.

Sebelum tahun 1998, Indonesia sangat jarang membeli peralatan tempur termasuk pesawat terbang militer meskipun pertumbuhan ekonomi kita ketika itu 7% per tahun. Di zaman Orde Baru, kita terlalu bergantung pada AS dan kiblat Presiden Soeharto ketika itu amat jelas ke arah Blok Barat telah membuat militer Indonesia melemah, kehilangan pamornya. Di tingkat ASEAN, Indonesia sebagai negara besar, kekuatannya sama sekali tidak sebanding dengan kebesarannya, baik Angkatan Udara maupun Angkatan Laut yang dimilikinya, dibandingkan dengan luasnya wilayah yang harus dilindungi. Kita hanya kuat di Angkatan Darat namun amat sangat lemah di udara dan lautan. 


"Kedekatan" Indonesia dengan AS dan sekutunya sebenarnya menciptakan dilema tersendiri, yakni kita merasa "tidak bebas" memalingkan muka untuk membeli peralatan dari negara lain seperti Rusia. Bagi AS sendiri, Indonesia sebenarnya bukanlah sekutu utama dalam arti kesamaan ideologi maupun pakta pertahanan di tubuh organisasi yang sama seperti NATO, ANZUS, maupun pakta pertahanan bilateral seperti AS-Jepang, AS-Philipina. Bahkan Indonesia tak lebih dari negara besar yang mereka lupakan dalam hal pengaruh dan perannya di tingkat dunia. Hubungan Indonesia-AS selama ini tak lebih dari pola hubungan Lintah dan Inangnya. Hubungan yang tidak seimbang, di mana negara yang satu banyak mendiktekan kehendaknya terhadap yang lain.


Indonesia, hanyalah "Sang Burung Merak" yang menarik hati karena kekayaan alamnya yang berkilau, yang ketika di Bulan November Tahun 1967 dianggap sebagai 'tangkapan terindah' bagi sang imperialis, Amerika Serikat. Presiden AS ketika itu, Richard Nixon, menginginkan tangkapan besar ini untuk diperas sampai kering. Itulah sebabnya, karena kekayaan alamnya, AS tidak ingin Indonesia jatuh ke pelukan Rusia dan China. Indonesia terlalu seksi untuk dibiarkan bersekutu dengan mereka. 


Menyusul tertangkapnya ‘hadiah terbesar’ ini, hasil tangkapannya pun dibagi. The Time-Life Corporationmensponsori konperensi istimewa di Jenewa yang dalam waktu tiga hari merancang pengambil alihan ekonomi Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili : perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah orang-orangnya Soeharto yang oleh Rockefeller disebut “ekonoom-ekonoom Indonesia yang top” (lihat di tulisan ini).


“Di Jenewa, Tim Sultan terkenal dengan sebutan ‘the Berkeley Mafia’, karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para majikan yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya, Sultan menawarkan : …… buruh murah yang melimpah….cadangan besar dari sumber daya alam ….. pasar yang besar.”

Di halaman 39 ditulis : “Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi, sektor demi sektor. 


"Ini dilakukan dengan cara yang spektakuler", kata Jeffrey Winters, guru besar pada Northwestern University, Chicago, yang dengan mahasiwanya yang sedang bekerja untuk gelar doktornya, Brad Simpson telah mempelajari dokumen-dokumen konferensi. 


"Mereka membaginya ke dalam lima seksi : pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja yang lain, mengatakan : ini yang kami inginkan : ini, ini dan ini, dan mereka pada dasarnya merancang infra struktur hukum untuk berinvestasi di Indonesia. Saya tidak pernah mendengar situasi seperti itu sebelumnya, di mana modal global duduk dengan para wakil dari negara yang diasumsikan sebagai negara berdaulat dan merancang persyaratan buat masuknya investasi mereka ke dalam negaranya sendiri."


Freeport mendapatkan bukit (mountain) emas dan tembaga di Papua Barat (Henry Kissinger duduk dalam board). Sebuah konsorsium Eropa mendapat nikel Papua Barat. Sang raksasa Alcoa mendapat bagian terbesar dari bauksit Indonesia. Sekelompok perusahaan-perusahaan Amerika, Jepang dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua Barat dan Kalimantan. Sebuah undang-undang tentang penanaman modal asing yang dengan buru-buru disodorkan kepada Soeharto membuat perampokan ini bebas pajak untuk lima tahun lamanya. Nyata dan secara rahasia, kendali dari ekonomi Indonesia pergi ke Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang anggota-anggota intinya adalah Amerika Serikat, Canada, Eropa, Australia dan, yang terpenting, Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia.”


Demikian gambaran yang diberikan oleh Brad Simpson, Jeffrey Winters dan John Pilger tentang suasana, kesepakatan-kesepakatan dan jalannya sebuah konperensi yang merupakan titik awal sangat penting buat nasib ekonomi bangsa Indonesia selanjutnya, di bawah jerat korporatrokasi AS. (baca halaman : Indonesia Menggugat)


AS menguasai Indonesia melalui kelelawar-kelelawar penghisap bernama Freeport, Exxon, Chevron, Newmont, yang terbang ke sana kemari mencari sumber-sumber emas, perak, alumunium, cekungan-cekungan minyak dan gas, untuk kebutuhan industri mereka, dalam perjanjian-perjanjian kontrak karya yang amat sangat merugikan rakyat Indonesia. Kecuali hanya segelintir elit negeri yang makmur di bawah gelontoran suap Dollar AS, rakyat Indonesia kebanyakan hidup miskin. 


Sebelum Tahun 2000 saat boneka-boneka AS di rezim Soeharto berkuasa, Sang Mafia Berkeley, Indonesia hanya punya 2 buah pesawat F-16 tanpa persenjataan rudal yang mematikan. Satu di antaranya jatuh. Selebihnya, peralatan tempur tua yang sulit diandalkan. Indonesia hanya punya pesawat Hercules C-130 uzur, beberapa buah Fokker, dan Hawk 200 buatan Inggris. Kendaraan tempur baru yang amat dibanggakan ketika itu hanyalah Tank ringan Scorpions buatan Inggris. 


Indonesia tak mampu membeli rudal Sidewinder yang berharga sangat mahal (lebih tepatnya sengaja dijual sangat mahal agar Indonesia tak mampu memilikinya), dan hanya mampu membeli beberapa kapal bekas eks Jerman Timur. Mengapa anggaran kita tidak pernah cukup untuk membeli peralatan militer yang bagus padahal ekonomi kita ketika itu tumbuh rata-rata 7% per tahun ? Bukankah kita eksportir minyak terbesar yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu anggota OPEC, eksportir emas, tembaga, bouksit, dan mineral-mineral bahan pembuatan teknologi tinggi ? 


Pertama, pertumbuhan ekonomi saat itu hanyalah semu, hanya menguntungkan segelintir elit negara dan tak jelas manfaatnya untuk rakyat banyak. IMF dan Bank Dunia menimbuni Indonesia dengan hutang segunung agar RI terjerat hutang sebagaimana negara-negara di Amerika Latin. Jika Indonesia terjerat hutang hingga tak mampu lagi membayar, maka mudah bagi IMF dan World Bank, yang sebagian besar jatah saham dan suaranya dikuasai AS & negara-negara maju, mendiktekan kebijakannya agar Indonesia manut pada mereka. 


Kedua, kita eksportir bahan-bahan mineral, minyak, dan bahkan tembaga atau emas terbesar di dunia. Namun bagian kita hanya 1% royalti, sementara 99% adalah bagiannya untuk Freeport McMoran, Newmont, Exxon, dan konco-konconya. Yang kaya dari SDA kita adalah AS, bukan kita. 

Jadi itulah sebabnya kita tetap miskin. Lebih tepatnya, dimiskinkan oleh para komprador penjajah.
  
Lalu krisis 1998 terjadi dan pemerintahan ORBA pun jatuh. Reformasi pun tak terhindarkan. Proses demokratisasi terus berlangsung hingga mengantarkan Indonesia ke sekarang ini.  Setelah Presiden SBY naik, kita mulai sedikit demi sedikit mampu memperbaiki diri secara ekonomi, dan Indonesia, sebagai negara berdaulat, tak terlalu mudah untuk didikte oleh IMF maupun World Bank yang menjadi perpanjangan tangan kaum kapitalis AS dan sekutunya. 

Di saat yang sama AS dan Eropa Barat mengalami krisis yang belum juga pulih hingga sekarang, sementara ekonomi kita tumbuh 6,3 % per tahun. Pertumbuhan terbesar ketiga di dunia setelah China dan India. PDB Indonesia naik secara signifikan dan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan perekeonomian terbesar ke-15 di dunia. 


Embargo militer AS atas Indonesia memberi pelajaran berharga bagi Indonesia. Kita seperti membiarkan resiko tinggi menghadang manakala secara militer hanya bergantung pada satu negara besar. Karena embargo AS, pesawat-pesawat F-16 kita tidak bisa terbang karena ketiadaan suku cadang. 

Maka, selagi ekonomi kita tumbuh dengan baik, pemerintah RI mulai membeli peralatan militer dari negara-negara lain di luar AS, yakni Rusia, Brazil, Jerman, dan lain-lain; dan di saat yang sama mulai menggalakkan industri dalam negeri guna menciptakan kemandirian alutsista. Salah satunya adalah untuk menghindari embargo sepihak dari negara asal produsen tersebut, yang kongres maupun pemerintahnya amat sangat rewel, dan selalu ingin mencampuri urusan dalam negeri orang lain.


AS tak mau menjual rudal ke kita, tidak jadi masalah. Kita bisa beli rudal berikut teknologinya dari Rusia dan China. Hasilnya, Indonesia sudah mampu membuat roket sendiri RX 550 dan masih akan dikembangkan lagi sebagai pembawa satelit. Belanda tidak mau menjual Tank Leopard yang mereka beli dari Jerman ke kita, maka kita tanpa pikir panjang langsung mengalihkan pembelian ke Jerman sendiri, sang produsennya langsung. 


Sekarang pemerintah kita mulai berani. Jika Belanda ingin Indonesia bersedia membeli kapal dari galangan mereka, maka mereka juga harus mau membangun sebagiannya di PT PAL, Indonesia, untuk transfer teknologi. 


Jika Bank Dunia mempersulit pencairan dana bantuan (baca : hutang) yang hanya sebesar 1,7 triliun rupiah untuk proyek JEDDI di DKI Jakarta, Gubernur DKI Jokowi dengan tegas akan membatalkan hutang itu. DKI lebih dari mampu untuk mengatasi proyek itu sendiri dengan APBD, karena sisa anggaran tahun lalu saja 10 triliun rupiah belum terpakai. 


Untuk pertamakalinya dalam sejarah semenjak ORBA, Indonesia menolak didikte oleh IMF yang telah mengacak-acak perekonomian RI selama ini. Indonesia langsung melunasi seluruh hutang-hutangnya ke lembaga itu, yang di zaman Bung Karno, IMF diusir keluar dari Indonesia. Sekarang IMF yang berbalik meminta-minta ke Indonesia bantuan sebesar 1 juta Dollar AS untuk mengatasi krisis di Eropa.


IGGI (yang kemudian berubah nama menjadi CGI) dibubarkan oleh pemerintah RI, karena peran mereka yang signifikan dalam 'merusak' Indonesia dan memuluskan kepentingan para komprador. Indonesia tidak butuh mereka lagi dengan Paris Club dan segala tetek bengek-nya yang menjadi agen pembodohan arah pembangunan dengan berkedok Lembaga Konsultatif semu. Indonesia belakangan sadar, CGI tak lebih dari gerombolan penipu yang memperdaya negara lugu yang umurnya baru beberapa puluh tahun. Peran CGI sudah selesai, tamat, dan cukup sampai di sini karena Indonesia bisa mengarahkan diri sendiri menuju kemandirian.  


Jika Freeport tak mau bangun smelter di negeri ini, maka tahun depan mereka pun tidak akan dijamin bisa ekspor keluar. Indonesia masih menuntut agar Freeport melakukan divestasi saham sebesar minimal 51% ke pemerintah pusat dan ke Pemda. Kelelawar itu tak bisa seenaknya lagi menghisap darah korban, karena sang burung merak telah bermetamorfosis menjadi Banteng yang siap melawan.


Sang Banteng pun mulai bisa mendenguskan api yang melayang-layang di udara, membentuk rangkaian huruf-huruf bertuliskan R-Han; dan siap menyengat siapa saja yang mencoba mengganggu. Api itu terbang di bawah cengekeraman Su 27 dan Su 30 MK nan canggih, bergabung dengan 6 Sukhoi 30MK yang sebelumnya sudah ada.



Su-30MK

Kini, skuadron Udara kita di Makassar semakin kuat. Indonesia semakin terlihat lebih digdaya dibanding 20 tahun yang lalu. TNI mengumumkan bawah setelah 6 unit Su 30 MK tiba beberapa waktu yang lalu, maka 8 unit lagi telah tiba untuk dirakit di sini. Indonesia membeli banyak pesawat tempur Sukhoi 27/30 lengkap dengan persenjatannya. Minimum Essential Force kita semakin hari semakin bisa kita dekati. Selasa, 30 April Puspen TNI memberitakan sebagai berikut : 

Pesawat Antonov Rusia Bawa 8 Engine Pesawat Tempur Sukhoi
LANUD SULTAN HASANUDDIN (30/4),- Setelah beberapa waktu yang  lalu 2 (dua) Pesawat Tempur SU-30 MK 2 dari 6 (enam) Pesawat pesanan pemerintah  Indonesia buatan Rusia memperkuat Skadron Udara 11 Wing 5 Lanud Sultan Hasanuddin, Tim penerimaan kedatangan Pesawat tempur Sukhoi Lanud Sultan Hasanuddin, Sabtu siang (27/4) kembali disibukan untuk menerima kedatangan 8 (delapan) engine Pesawat Tempur Sukhoi 27/30 yang diangkut dengan menggunakan Pesawat Antonov AH-124-100  VDA-6192 dengan Pilot  Chevron, Co Pilot Morenko.

Kedatangan Pesawat AH-124-100 yang parkir di Base Ops Lanud Sultan Hasanuddin tersebut disaksikan oleh Komandan Wing 5 Lanud Sultan Hasanuddin Kolonel Pnb Danet Hendriyanrto, para Kepala Dinas, Komandan Satuan, Tim dari Kemhan, Mabes TNI dan Mabesau serta Pejabat dari PT. Trimarga Rekatama. 
Pesawat AH-124-100 mempunyai panjang badan 68.96 M dan lebar sayap 73.3 M serta tinggi 20.78 M, yang membawa empat engine pesawat tempur SU-27/30 buatan KNAPO (Komsomolsk-na Amure Aircraft Production Association) Rusia, Take off dari Bandara Dzemgi Rusia  dengan rute penerbangan Bandara  Dzemgi Rusia- Manila - Lanud Sultan Hasanuddin Makassar, yang merupakan satu rangkaian tahapan dari kedatangan 6 (enam) unit pesawat Tempur SU-30 MK2 pesanan pemerintah Indonesia buatan Rusia. Sumber :TNI
Perubahan pemerintah yang diakibatkan oleh krisis 1998 telah membawa Indonesia ke arah dinamika politik dan ekonomi yang terus berubah. Zaman Presiden BJ Habibie cukup stabil dan untuk pertama kalinya pers mendapatkan kebebasannya sebagai kontrol terhadap pemerintahan.


Zaman Presiden Abdurrahman Wahid agak sedikit hiruk pikuk karena manajemen pemerintahan yang cenderung 'bebas' dan gaya kepemimpinan Gus Dur yang 'nyentrik'. Namun di bawah Gus Dur untuk pertamakalinya, kaum minoritas Tionghoa dan Kong Hucu diakui sebagai salah satu agama resmi negara, dan budaya mandarin sebagai bagian dari budaya Indonesia. Pluralisme menjadi lebib menonjol zaman Gus Dur.

Zaman Presiden Megawati Soekarno Putri menurut penulis, adalah zaman ketika BUMN-BUMN dijual ke asing dan bank-bank swasta nasional di bawah BPPN juga diobral dengan harga murah ke asing. Banyak orang menilai, ini adalah zaman 'kegilaan' pada privatisasi yang menyesatkan, sampai-sampai Krakatau Steel, yang didirikan oleh Bung Karno atas pinjaman dari Jepang, nyaris dijual ke Mittal Corporation dengan harga yang sangat murah oleh Menteri BUMN ketika itu, Laksamana Sukardi. Seorang menteri yang percaya sekali akan 'privatisasi' sektor-sektor strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak seperti PAM Jaya yang sebagian sahamnya dijual ke Thames, Perancis, di bawah perjanjian merugikan DKI. 

BUMN lain sebelumnya yang dijual adalah Indosat, Perusahaan Gas Negara, Kimia Farma, Indofarma, dan lain-lain kurang lebih 7 perusahaan milik negara, belum termasuk beberapa BUMD strategis yang juga dijual ke asing di bawah perjanjian yang merugikan negara. Juga perusahaan-perusahaan besar swasta nasional seperti Astra, BCA, Bank Danamon, Bank Niaga dan lain-lain  dijual sahamnya ke asing atas perintah IMF.

Atas desakan IMF, pemerintah dipaksa menjual BUMN-BUMN yang cukup potensial di masa-masa mendatang hanya untuk menutup defisit APBN. Selain menjadi sapi perah pejabat negara, BUMN diobral kepada investor asing demi mendapatkan utang baru dari IMF cs. Pada pemerintahan Megawati, tim ekonominya yakni  Menko Perekonomian Dorodjatun, Menkeu Boediono, dan Meneg BUMN Laksama Sukardi melakukan privatisasi BUM secara cepat (fast-track privatization)  hanya untuk menutup anggaran dengan tanpa mempertimbangkan aspek ekonomis dari BUMN yang bersangkutan. Pilihan menggandeng mitra strategis (melalui strategic sale) dalam proses privatisasi oleh sebagian pengamat dipandang sebagai tindakan yang merugikan negara.

Untunglah Krakatau Steel tidak jadi dijual karena protes keras dari Rizal Ramli, Sri Edi Swasono, dan Kwik Kian Gie ketika itu, karena betapa pentingnya BUMN Perusahaan Baja bagi industri pertahanan, konstruksi, dan lain-lainnya.  Tanpa memiliki pabrik Baja sendiri,  Indonesia akan sangat kesulitan dalam membuat kapal, Kereta api, Panser, maupun Tank. Perusahaan baja adalah perusahaan vital yang menjadi penopang industri strategis kita seperti PT PAL, PT INKA, PT PINDAD, dan bahkan PT DI. Mengerikan sekali negara besar seperti Indonesia tidak memiliki pabrik baja karena telah dijual murah ke asing. Tanpa punya pabrik baja, mustahil kita bisa buat ANOA, mustahil kita bisa buat Kapal besar dengan berat 50.000 DWT, mustahil kita bisa buat Tank, mustahil kita bisa buat kapal selam, mustahil kita bisa bangun jembatan, mustahil kita bisa buat gedung pencakar langit, mustahil Pertamina bisa menyalurkan gas dan minyak lewat pipa-pipa baja, dan mustahil kita bisa maju.


Andai saja Krakatau Steel jadi dijual ke asing, maka siapapun presiden dan menteri BUMN-nya ketika itu, akan dikutuk rakyat Indonesia sebagai pemimpin paling lugu dan bodoh sepanjang sejarah berdirinya negeri ini. 


Sadar telah dibodohi oleh IMF, maka zaman Presiden SBY penjualan aset penting negara ke asing dihentikan sama sekali. Indonesia tidak peduli lagi dengan rekomendasi dan saran menyesatkan dari lembaga-lembaga keuangan internasional yang telah menyebabkan negara ini terpuruk.  

Menteri BUMN sekarang, Dahlan Iskan, bahkan menegaskan : "sekarang bukan zamannya menjual BUMN ke asing. Sekarang zamannya BUMN membeli saham-saham milik perusahaan asing dan go international." Untunglah Indonesia punya orang seperti Dahlan Iskan yang jujur, pandai manajemen, menguasai seluk beluk perusahaan, dan seorang enterpreneur hebat. 

Di Zaman Menteri BUMN Dahlan Iskan pula PT DI bangkit, PT PAL bangun dan mencetak untung milyaran rupiah, PT PINDAD ekspor Anoa ke mancanegara, PT INKA mulai berjalan, dan lain-lain prestasi menggembirakan. 

Penulis menyukai SBY, tapi di saat yang sama juga ada sisi yang tidak penulis sukai dari Presiden kita ini. Penulis menganggap SBY berprestasi dalam membawa Indonesia dari negara yang nyaris gagal menjadi negara yang ekonominya tumbuh. Tapi kelemahan beliau adalah Nepotisme, yakni anak, istri, kakak ipar, adik ipar, dan keluarga dekat dijadikan pejabat tinggi partai yang didirikannya, sekaligus caleg di DPR RI. Cara SBY ini akhirnya dicontoh oleh pejabat-pejabat di tingkat bawahnya, seperti Bupati mencalonkan istrinya jadi bupati periode berikutnya, lalu Istri bupati ini di akhir masanya mencalonkan anaknya untuk menduduki jabatan yang sama. Ini sungguh tragis.




Nepotisme adalah kemunduran reformasi, saat tahun 1998 para istri, teman dekat, dan handai taulan para pejabat negara ramai-ramai mengundurkan diri dari DPR RI yang dipenuhi oleh famili-famili. 

Demokratisasi memang tidak mudah. Indonesia masih butuhkan proses yang panjang agar demokrasi kita bisa seperti Jerman. Namun, setidaknya, banyak perbaikan ekonomi yang terjadi. 


Di bawah tekanan korupsi yang merajalela saja Indonesia masih bisa tumbuh, maka kita bisa bayangkan betapa hebatnya kita, jika korupsi itu bisa kita basmi hingga ke akar-akarnya. Di tengah-tengah kesulitan global saja kita masih bisa membeli pesawat tempur, membangun gedung-gedung dan pabrik-pabrik, maka jika korupsi bisa kita bantai, maka Indonesia akan bisa tumbuh lebih cepat.


Di saat itulah kita perlu mengupayakan kemerdekaan ekonomi dalam arti sebenarnya. Kita tidak perlu memusuhi AS dan sekutunya, bahkan kita harus tetap bisa bekerjasama dengan mereka, namun harus duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. Kita dengan negara manapun harus sejajar, sama, dan setara.  

Lima atau sepuluh tahun ke depan, Indonesia sangat mungkin mampu membuat pesawat tempur sendiri yang lebih canggih dari F-16 Fighting Falcon. Industri strategis kita sudah cukup lengkap dan semua tampak berkembang bersama-sama : untuk menguasai udara kita punya PT DI untuk memproduksi pesawat militer maupun helikopter serang; di laut kita punya PT PAL untuk memproduksi sendiri kapal perang rudal maupun kapal induk; di darat kita punya PT PIDAD yang memproduksi Tank dan panser; di lini identifikasi kita puna LEN dan PT INTI untuk mengembangkan radar dan teknologi tinggi semi-konduktor. Dan kita juga punya LAPAN yang siap mengembangkan  teknologi roket untuk daya jelajah dua digit atau lebih, dan juga pembuatan satelit. Pada titik ini, kita adalah yang terbaik di ASEAN.  

Sambil mencari bentuk sistem pemerintahan yang tepat, rasanya tidak akan sulit bagi indonesia untuk mengejar Brazil atau India. Jika indeks korupsi di negara ini bisa kita penggal menjadi lebih rendah lagi, maka Indonesia akan bisa tumbuh lebih kencang lagi. Di saat itu, kelelawar yang merugikan akan bisa kita halau menjauh, dan bila perlu paksa mereka untuk mau bekerjasama sehingga saling menguntungkan. Indonesia, pada saatnya, akan bisa berdiri tegak sebagai bangsa yang terhormat, kuat, dan makmur. Sebagai bangsa kita mampu berdiri sejajar dengan Belanda, Australia, dan bahkan Rusia atau AS. SDM kita juga sama pintarnya dengan mereka. Dalam kontes robot, komputer, matematik, astronomi, fisika, biologi, dan lain-lain di tingkat dunia, para pelajar dan mahasiswa kita sering menang dan juara umum.   

, ,

0 komentar

Write Down Your Responses